Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyarankan kebijakan tes PCR untuk penumpang pesawat dibatalkan. Ketua Umum YLKI Tulus Abadi menyebutkan, kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini sebaiknya dibatalkan atau direvisi. Atau, lanjut Tulus, syarat perjalanan dengan angkutan udara cukup antigen saja, tapi harus vaksin 2x.
Tulus juga menyebutkan, bahwa kebijakan PCR ini diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen. "Diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen bahkan tidak pakai apapun. Maka dari itu kebijakan ini diskriminatif," kata Tulus. Selain itu Tulus juga mengingatkan, jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya dan pihak pihak tertentu yg diuntungkan.
Sementara itu menurut Pengurus harian YLKI Agus Suyatno mengatakan, kenapa kebijakan ini hanya untuk transportasi udara saja dan untuk transportasi darat serta yang lainnya masih menggunakan rapid test antigen. Agus juga mengatakan, YLKI mempertanyakan kenapa transportasi darat yang waktu perjalanannya cukup lama dan jarak yang cukup jauh masih bisa menggunakan rapid test antigen. "Kami meminta kepada pemerintah untuk mencabut kebijakan tersebut, karena fungsi PCR sendiri adalah untuk mendiagnosis orang yang diduga terinfeksi Covid 19," ucap Agus.
Untuk syarat perjalanan dengan moda transportasi, lanjut Agus, sebetulnya cukup menggunakan rapid test antigen. Penumpang pesawat atau moda transportasi lain, untuk screening awal cukup dengan rapid test antigen. Selain itu Agus juga beranggapan, PCR tes untuk penumpang pesawat memberikan dampak mengenai penambahan biaya saat melakukan perjalanan. "Kemudian dengan adanya kebijakan ini, bisa membuat minat masyarakat menurun untuk menggunakan angkutan udara. Hal ini karena masyarakat nantinya akan memilih transportasi yang lebih menguntungkan," ucap Agus.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PAN Athari Gauthi Ardi mempertanyakan kebijakan pemberlakuan syarat naik pesawat oleh pemerintah di era PPKM 19 Oktober sampai 1 November 2021 di wilayah Jawa Bali. Kebijakan baru ini mewajibkan kepada pelaku penerbangan domestik untuk menyertakan hasil pemeriksaan negative Covid 19 dengan skema PCR walaupun sudah mendapatkan vaksin dosis kedua. Menurut dia, pesawat terbang merupakan alat transportasi paling aman dan siap dibandingkan dengan yang lainnya dalam menghadapai Covid 19, karena sudah dilengkapi dengan HEPA (High Efficiency Particulate Air) dan pemberlakukan protokol kesehatan dengan sangat ketat di bandara.
“Jika dibandingkan dengan alat transportasi seperti bus, kereta api dan lainnya, saya rasa pesawat adalah yang paling aman dan siap dalam menghadapi pandemi Covid 19. Kita tau bahwa kabin pesawat terbang sudah dilengkapi dengan sistem penyaringan udara HEPA dan di bandara pun sudah diterapkan protokol kesehatan dengan sangat ketat," ucap Athari. Athari mengatakan kebijakan PCR bagi penumpang pesawat akan membebankan masyarakat dan berpotensi pada penurunan jumlah penumpang serta kerugian maskapai. "Tentu kebijakan seperti ini akan berdampak pada masyarakat kita, ini akan memberatkan masyarakat dan juga menurunkan jumlah penumpang pesawat dan bisa bisa maskapai terus merugi," ujar Athari.
Athari menyatakan menolak kebijakan PCR bagi penumpang pesawat rute domestic diberlakukan, walau sudah divaksin dua kali. “Jujur saja saya menolak untuk aturan ini diberlakukan, saya minta agar pemerintah merevisi kembali dengan mempertimbangkan banyak aspek,” ungkap Athari. Lebih lanjut, Athari mengingatkan bahwa jangan sampai ada mafia yang bermain di balik kebijakan tersebut.
"Jangan sampai ada mafia yang bermain dalam kebijakan ini," pungkasnya. Ketua Penanganan Satgas Covid 19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Zubairi Djoerban mendukung aturan wajib PCR bagi penumpang moda transportasi udara atau pesawat. Selain memiliki tingkat akurasi yang tinggi daripada tes antigen, kebijakan pemerintah ini tepat karena lebih mempertimbangkan sisi kesehatan
Dokter penyakit dalam ini menerangkan, sampai ini tes RT PCR masih menjadi tes terbaik dalam mendeteksi Covid 19. Diharapkan dengan pengetatan testing ini penularan Covid 19 dapat ditekan semaksimal mungkin. "PCR lebih baik daripada antigen. Dulu kenapa diperlakukan antigen? karena kalau antigen teoritiskan bisa lebih cepat mendeteksinya. Cuman kemudian mungkin dipikirkan lagi kita ini sudah bagus banget kondisi kasus Covid 19. Jadi kalau sekarang diperketat ya menurut saya setuju saja," jelasnya.
Ia pun mengingatkan, meski telah menerima vaksin dosis lengkap tidak ada jaminan seseorang tidak tertular Covid 19. Sehingga pencegahan berlapis di masa penurunan kasus menjadi hal penting yang harus dilakukan dalam pergerakan masyarakat. "Prinsip mempertahankan supaya tidak terjadi penularan dengan cara berlapis lapis. Artinya diawalkan prasyaratnya. Tidak semua yang divaksinasi itu tidak tertular, masih bisa tertular, karena itu kita perlu dua lapisan, selalu diwajibkan di dalam perjalanan di pesawat tetap pakai masker. Kemudian yang lapisan berikutnya dengan tesnya terbaik ya PCR," imbuh Profesor yang kerap disapa Berry ini.